Sabtu, 03 Oktober 2015

cerpen

GOD, GIVE ME ALIVE ONCE MORE AGAIN
Author: Safira Fausta Ramadhani
Title: god, give me alive once more again


                Pagi itu aku ke rumah Dika untuk mengerjakan tugas biologi dari Bu Ida tentang substansi materi genetik kelas 12 SMA. Aku pergi dengan mengendarai sepeda milikku, kebetulan rumahku dan Dika tidak terlalu jauh jadi aku menggunakan sepeda sebagai sarana transportasi yang hemat dan ramah lingkungan. Aku tiba di rumah Dika dan aku parkir sepedaku di halaman milik Dika yang luas yang dikelilingi oleh berbagai tumbuhan yang menambah suasana segar pagi itu. “tok tok tok” aku mengetuk rumah Dika kemudian ada seorang perempuan yang cantik membukakan pintu itu.
“permisi bu, Dika-nya ada?” aku mengatakan dengan nada sopan kepada wanita itu yang sekaligus ibu-nya Dika
“oh ya nak, silahkan masuk” ibu itu membukakn pintu dan membukakan jalan untuk masuk
          Kemudian wanita itu memanggi-manggil Dika dan aku duduk di ruang tamu Dika untuk menunggu Si Dika keluar dari tempat persembunyiannya. Tidak lama kemudian Si Dika menampakkan wajahnya dengan muka lesu baru bangun tidur.
“eh Fira, ada apa Fir?”
“nih mau ngerjakan tugas biologi, eh dik mending lu mandi dulu deh, jangan buat tamumu ini pingsan lihat mukamu yang acak-acakan” aku tertawa kecil sambil meledek Dika
“iya, bentar ya” Dika langsung balik badan dan pergi untuk mandi
          Aku menunggu Dika kurang lebih dua puluh menit, mungkin dia mandi sambil SPA dulu atau crembath juga gak tau yang penting aku tetep nunggu karena aku sadar aku yang butuh, hehe. Sambil buka-buka lembaran-lembaran buku biologi aku baca teori-teorinya sebelum mengerjakan tugas dari Bu Ida. Kemudian  Dika kembali muncul dengan rambutnya yang sudah tersisir rapi dan mulai tercium bau wangi dari Dika.
          “eh Dik lu mandi lama banget, ngapain ajah sih?” aku Tanya dengan muka agak masam terlalu lama nunggu tuh anak
“sorry Fir, tadi gue harus keramas sekaligus mengoleskan hair tonic ke rambutku biar seger, hehe” Dika tertawa sambil menggaruk-garuk rambutnya yang panjang banget untuk ukuran anak SMA
          Tidak lama kemudian Dika juga membawa buku biologinya untuk belajar bersama, kebetuan aku dan Dika satu kelompok gara-gara jumlah laki-laki dan perempuan di kelasku ganjil dan aku sama Dika sama-sama pendiam jadi kesulitan menemukan pasangan, tetapi aku syukuri ajah punya gandengan masternya biologi         kemudian jarak rumahku sama Dika juga deket banget walaupun begitu aku dan Dika gak pernah bicara sama sekali, apalagi kepikiran ke rumahnya.
“eh Dik lu punya rangkumannya bab ini? Buat penunjang materi ajah, kita kebagian praktikum simulasi mengenai proses sintetis protein dalam pembentukan sifat kan?” aku tanya ke Dika yang sedang sibuk membaca bukunya
“iya, mending lu baca dulu teorinya baru mengadakan penelitian, biar mudah juga bikin laporannya” Dika berbicara dengan nada datar, muka datar, dan menyebalkan
          Akhirnya aku baca teri-teorinya dan membuat kerangka laporan biar praktikum selesai, laporan juga selesai. Kemudian ku melihat ayah Dika jalan menuju ke luar rumah sambil membawa Koran dan duduk di halaman, sebenarnya sih agak gemetar juga ke rumahnya anak cowok, karena seumur hidup aku gak pernah ke rumah cowok atau ada cowok datang ke rumah, aku agak tertutup kepada lawan jenis, kalau sama Dika sih biasa ajah karena udah mulai MTs temenan sama tuh anak, tapi kalau untuk ke rumahnya  itu hal yang, paling tidak pernah terfikirkan buat aku, tapi aku harus melakukannya.  
“hey Fir, jangan ngelamun ajah, masih banyak nih tugas yang perlu dikerjakan, biar cepet selesai, kenapa lu ngelamun? Jangan kebanyakan ngelamun ntar lu kesurupan, di sini kan banyak pohon rindang, biasanya banyak penunggunya lho” Dika menyadarkan lamunanku
“kalau ada jin ngerasukin gue, aku rasukin sendiri, biar tuh jin tau rasanya di rasukin sama roh lain itu gak enak” aku tersenyum kepada Dika buat memcah hening yang sempat terjadi di ruangan itu
          Laporan biologi udah hampir selesai dan percobaannya ternyata sudah berhasil, aku mulai merasa lega karena gak lama kemudian aku akan terbebas buat pulang dan gak akan di marahi Dika lagi gara-gara jadi partner kelompok yang gak niat kerja. Sebenernya bukannya gak niat kerja, hanya saja males ketemu tuh anak, masa mulai MTs sampai SMA ketemu tuh anak terus.
“Eh Dik, pasti orang tuamu bangga punya anak kayak kamu yang pinter biologi dan gak banyak bicara, orang tuaku selalu mendambakan anak kayak gitu, sayangnya aku bukan anak seperti itu jadi aku mirip kayak anak yang tidak diharapkan gitu” aku mengatakan dengan menatap dika yang sedang asik menggaris tabel-tabel.
“kenapa lu ngomong kayak gitu? Masa ada anak yang tidak diharapkan orang tua, anak itu anugrah” Dika langsung berhenti melakukan aktifitas apapun mendengar kalimat tadi
“buktinya aku selalu dimarahi orang tuaku karena aku gak bisa menjadi anak yang pinter secara akademik di mata mereka, emang kenyataannya gitu kok Dik” aku menunduk
“tapi bukannya kamu pinter dibidang tulis menulis, speaking ya Fir? Buktinya kamu selalu menang kalau ada lomba debat gitu?” Dika melihat dengan nampak bingung
“hmm, iya sih dik, pernah suatu hari aku menunjukkan majalah yang disitu ada karyaku kemudian sama ayahku malah dibuang, katanya aku terlalu banyak acara yang gak penting, katanya aku mending suruh ke nilai akademikku ajah daripada jadi seorang penulis” tanpa terasa mataku mulai berkaca-kaca
“aku juga berfikir kalau jadi kamu itu enak yang bisa aktif diberbagai organisasi, pintar debat, pintar menulis, dan kamu pintar dalam hal komunikasi dan aku juga berfikir, orang tuamu pasti bangga punya anak kayak kamu” Dika ikut tertunduk.
“namun kenyataannya gak seperti itu Dik, aku malah dikatakan anak autis karena kebanyakan bicara, karena digaris keturunan ayahku tidak ada nilai yang sejelek aku, aku akui di garis keturunan kakekku semua pada pinter dlam segi akademik sampai ada yang mewakili Jawa Timur dalam olimpiade sains, mungkin jadi kamu enak ya bisa ikut berpartisipasi dalam olimpiade biologi, mungkin dengan gitu ajah udah bisa bikin ayahku seneng” aku semakin tertunduk menatap lantai yang terasa semakin dingin
          Dika mengepalkan kedua tangannya dan semakin menunduk, dia hanya diam sampai berberapa saat.
“kamu kenapa Dik?” aku bertanya sambil menatap Dika dengan wajah yang merah
“mungkin bisa dibilang kita punya masalah yang sama, aku mempunyai karakter INFJ yang sangat langka di dunia ini, apalagi di Indonesia, jadi aku lebih bisa mengerti orang lain daripada orang lain mengerti aku termasuk orang tuaku” Dika tetap tertunduk
“hebat lah kamu bisa punya karakter INFJ, orang yang introvert kan punya banyak ide, karena orang yang lebih banyak diam itu malah mempunyai segudang ide daripada orang yang banyak bicara, aku ajah karakter ambivert gak tau dari mana, tapi aku seneng punya karakter itu karena bisa deket sama orang yang berkepribadian introvert dan ekstrovert, tetapi malah di kelas aku didiskriminasi dan di rumah aku semakin disudutkan, aku gak tau harus lari kemana, apa dunia sekejam ini hingga tidak ada tempat untukku”tanpa terasa aku meneteskan air mata.
          Dika mengambilkan tisu yang ada di meja dan aku mengambilnya satu untuk mengusap air mataku. Sejenak terjadi suasana hening di ruangan itu.
“kamu hebat Fir, pinter dalam segi komunikasi, sedangkan aku tidak, orang tuaku juga tekadang mempermasalahkan hal itu, padahal di dunia ini ada berbagai karakter terkadang aku juga benci dengan penilaian yang subjektif dan menjustice seperti itu. Mungkin kalau kita lahir secara tertukar mungkin orag tua kita bakal menemukan kebahagiaan” Dika memberikan seulas senyum sebagai penyemangat.
“kamu tau kan Dik genetik, genetik itu dibawa dari orang tua kepada anaknya, secara teori jika ayah mempunyai genetik AA, ibu mempunyai genetik BB, anaknya pasti punya kemungkinan  AA, AB, BA, BB. Kalau orang tuaku bilang seperti itu pasti kesalahan buat mereka, karena anak pasti nurun dari sifat kedua orang tuanya, kalau aku punya kepribadian AC, mungkin bisa dibilang aku anak haram atau anak tetangga dan lain sebagainya” tanganku semakin mengepal an dadaku semakin terasa sesak
“jangan bilang seperti itu Fir, kita punya masalah yang sama, aku terkadang berfikir seperti itu, tapi bagaimanapun orang tua tetap orang tua kita, kita harusnya tetap menghormati dan tetap taat kepada orang tua kita, semoga saja kita ditakdirkan menjadi orang sukses dan orang tua kita diberikan umur panjang untuk melihat kita dapat sukses, kita bakal sukses dengan  bidang kita masing-masing, tidak ada anak yang sempuna di dunia ini, manusia ajah tidak ada yang sempurna walaupun manusia adalah sebaik-baik makhluk” Dika mencoba menenangkanku.
“amiin” aku berdoa dalam hati dan semoga perkataan Dika dapat terwujud.
          Keadaan menjadi hening, dan aku mulai kembali seperti semula, sudah tidak ada air mata yang menetes lagi. Baik aku dan Dika sama-sama diam tidak ada suara sedikitpun. Aku mulai mengemasi barang-barangku yang berantakan diatas meja tamu dan bersiap untuk pulang. Kemudian aku berpamitan kepada Dika, ibu-nya Dika dan ayahnya yang kebetulan berada di depan rumahnya. Aku kembali dengan mengayuh kembai sepedaku.
          Disisi lain setelah kepulangan Fira dari rumah Dika ternyata Ayah Dika memanggil Dika kemudian ia memeluk Dika, Dika Nampak bingung dengan perilaku ayahnya yang aneh dan tidak seperti biasanya.
“nak, maafkan ayah yang terlalu  menilai kamu secara subjektif, seharusnya ayah tahu bahwa tidak ada anak yang sempurna di dunia ini, seharusnya ayah tahu bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, ayah tadi mendengar percakapanmu dengan temanmu yang cukup membuat ayah menjadi merasa bersalah kepadamu, seharusnya ayah tidak terlalu memaksamu untuk mengikuti suatu garis karena  itu tidak manusiawi dan memberikan batas untuk kamu melakukan suatu hal dan itu mungkin menurutmu sedikit menyiksamu, dan kamu memang laki-laki sejati yang tidak meneteskan air mata walaupun kamu mempunyai masalah yang sama dengan temanmu itu dan ayah tahu mungkin terdapat sesak di dadamu karena selama ini kamu juga mengalami hal itu, ayah minta maaf ya” ayah Dika memeluk Dika dengan erat dan seulas senyum muncul dari wajah Dika
“tanpa aku harus berfikir tetang kematianku untuk menyadarkan arti aku untuk orang tuaku, ternyata sebelum itu orang tuaku telah menyadarinya. Terima kasih tuhan” Dika mengatakan dalam hati dan terlihat kebahagiaan di raut wajahnya

-End-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar