GOD,
GIVE ME ALIVE ONCE MORE AGAIN
Author: Safira Fausta Ramadhani
Title: god, give me alive once more again
Pagi
itu aku ke rumah Dika untuk mengerjakan tugas biologi dari Bu Ida tentang
substansi materi genetik kelas 12 SMA. Aku pergi dengan mengendarai sepeda
milikku, kebetulan rumahku dan Dika tidak terlalu jauh jadi aku menggunakan
sepeda sebagai sarana transportasi yang hemat dan ramah lingkungan. Aku tiba di
rumah Dika dan aku parkir sepedaku di halaman milik Dika yang luas yang
dikelilingi oleh berbagai tumbuhan yang menambah suasana segar pagi itu. “tok
tok tok” aku mengetuk rumah Dika kemudian ada seorang perempuan yang cantik
membukakan pintu itu.
“permisi bu, Dika-nya
ada?” aku mengatakan dengan nada sopan kepada wanita itu yang sekaligus ibu-nya
Dika
“oh ya nak, silahkan
masuk” ibu itu membukakn pintu dan membukakan jalan untuk masuk
Kemudian wanita itu memanggi-manggil Dika dan aku duduk di
ruang tamu Dika untuk menunggu Si Dika keluar dari tempat persembunyiannya. Tidak
lama kemudian Si Dika menampakkan wajahnya dengan muka lesu baru bangun tidur.
“eh Fira, ada apa Fir?”
“nih mau ngerjakan
tugas biologi, eh dik mending lu mandi dulu deh, jangan buat tamumu ini pingsan
lihat mukamu yang acak-acakan” aku tertawa kecil sambil meledek Dika
“iya, bentar ya” Dika
langsung balik badan dan pergi untuk mandi
Aku menunggu Dika kurang lebih dua puluh menit, mungkin dia
mandi sambil SPA dulu atau crembath juga gak tau yang penting aku tetep nunggu
karena aku sadar aku yang butuh, hehe. Sambil buka-buka lembaran-lembaran buku
biologi aku baca teori-teorinya sebelum mengerjakan tugas dari Bu Ida. Kemudian
Dika kembali muncul dengan rambutnya
yang sudah tersisir rapi dan mulai tercium bau wangi dari Dika.
“eh Dik lu mandi lama banget, ngapain ajah sih?” aku Tanya dengan
muka agak masam terlalu lama nunggu tuh anak
“sorry Fir, tadi gue
harus keramas sekaligus mengoleskan hair tonic ke rambutku biar seger, hehe”
Dika tertawa sambil menggaruk-garuk rambutnya yang panjang banget untuk ukuran
anak SMA
Tidak lama kemudian Dika juga membawa buku biologinya untuk
belajar bersama, kebetuan aku dan Dika satu kelompok gara-gara jumlah laki-laki
dan perempuan di kelasku ganjil dan aku sama Dika sama-sama pendiam jadi
kesulitan menemukan pasangan, tetapi aku syukuri ajah punya gandengan masternya
biologi kemudian jarak rumahku
sama Dika juga deket banget walaupun begitu aku dan Dika gak pernah bicara sama
sekali, apalagi kepikiran ke rumahnya.
“eh Dik lu punya
rangkumannya bab ini? Buat penunjang materi ajah, kita kebagian praktikum
simulasi mengenai proses sintetis protein dalam pembentukan sifat kan?” aku tanya
ke Dika yang sedang sibuk membaca bukunya
“iya, mending lu baca
dulu teorinya baru mengadakan penelitian, biar mudah juga bikin laporannya”
Dika berbicara dengan nada datar, muka datar, dan menyebalkan
Akhirnya aku baca teri-teorinya dan membuat kerangka
laporan biar praktikum selesai, laporan juga selesai. Kemudian ku melihat ayah
Dika jalan menuju ke luar rumah sambil membawa Koran dan duduk di halaman,
sebenarnya sih agak gemetar juga ke rumahnya anak cowok, karena seumur hidup
aku gak pernah ke rumah cowok atau ada cowok datang ke rumah, aku agak tertutup
kepada lawan jenis, kalau sama Dika sih biasa ajah karena udah mulai MTs
temenan sama tuh anak, tapi kalau untuk ke rumahnya itu hal yang, paling tidak pernah terfikirkan
buat aku, tapi aku harus melakukannya.
“hey Fir, jangan
ngelamun ajah, masih banyak nih tugas yang perlu dikerjakan, biar cepet
selesai, kenapa lu ngelamun? Jangan kebanyakan ngelamun ntar lu kesurupan, di sini
kan banyak pohon rindang, biasanya banyak penunggunya lho” Dika menyadarkan
lamunanku
“kalau ada jin
ngerasukin gue, aku rasukin sendiri, biar tuh jin tau rasanya di rasukin sama
roh lain itu gak enak” aku tersenyum kepada Dika buat memcah hening yang sempat
terjadi di ruangan itu
Laporan biologi udah hampir selesai dan percobaannya
ternyata sudah berhasil, aku mulai merasa lega karena gak lama kemudian aku
akan terbebas buat pulang dan gak akan di marahi Dika lagi gara-gara jadi
partner kelompok yang gak niat kerja. Sebenernya bukannya gak niat kerja, hanya
saja males ketemu tuh anak, masa mulai MTs sampai SMA ketemu tuh anak terus.
“Eh Dik, pasti orang
tuamu bangga punya anak kayak kamu yang pinter biologi dan gak banyak bicara,
orang tuaku selalu mendambakan anak kayak gitu, sayangnya aku bukan anak
seperti itu jadi aku mirip kayak anak yang tidak diharapkan gitu” aku
mengatakan dengan menatap dika yang sedang asik menggaris tabel-tabel.
“kenapa lu ngomong
kayak gitu? Masa ada anak yang tidak diharapkan orang tua, anak itu anugrah”
Dika langsung berhenti melakukan aktifitas apapun mendengar kalimat tadi
“buktinya aku selalu
dimarahi orang tuaku karena aku gak bisa menjadi anak yang pinter secara
akademik di mata mereka, emang kenyataannya gitu kok Dik” aku menunduk
“tapi bukannya kamu
pinter dibidang tulis menulis, speaking ya Fir? Buktinya kamu selalu menang
kalau ada lomba debat gitu?” Dika melihat dengan nampak bingung
“hmm, iya sih dik,
pernah suatu hari aku menunjukkan majalah yang disitu ada karyaku kemudian sama
ayahku malah dibuang, katanya aku terlalu banyak acara yang gak penting,
katanya aku mending suruh ke nilai akademikku ajah daripada jadi seorang
penulis” tanpa terasa mataku mulai berkaca-kaca
“aku juga berfikir
kalau jadi kamu itu enak yang bisa aktif diberbagai organisasi, pintar debat,
pintar menulis, dan kamu pintar dalam hal komunikasi dan aku juga berfikir,
orang tuamu pasti bangga punya anak kayak kamu” Dika ikut tertunduk.
“namun kenyataannya gak
seperti itu Dik, aku malah dikatakan anak autis karena kebanyakan bicara,
karena digaris keturunan ayahku tidak ada nilai yang sejelek aku, aku akui di
garis keturunan kakekku semua pada pinter dlam segi akademik sampai ada yang
mewakili Jawa Timur dalam olimpiade sains, mungkin jadi kamu enak ya bisa ikut
berpartisipasi dalam olimpiade biologi, mungkin dengan gitu ajah udah bisa
bikin ayahku seneng” aku semakin tertunduk menatap lantai yang terasa semakin
dingin
Dika mengepalkan kedua tangannya dan semakin menunduk, dia
hanya diam sampai berberapa saat.
“kamu kenapa Dik?” aku
bertanya sambil menatap Dika dengan wajah yang merah
“mungkin bisa dibilang
kita punya masalah yang sama, aku mempunyai karakter INFJ yang sangat langka di
dunia ini, apalagi di Indonesia, jadi aku lebih bisa mengerti orang lain
daripada orang lain mengerti aku termasuk orang tuaku” Dika tetap tertunduk
“hebat lah kamu bisa
punya karakter INFJ, orang yang introvert kan punya banyak ide, karena orang
yang lebih banyak diam itu malah mempunyai segudang ide daripada orang yang
banyak bicara, aku ajah karakter ambivert gak tau dari mana, tapi aku seneng
punya karakter itu karena bisa deket sama orang yang berkepribadian introvert
dan ekstrovert, tetapi malah di kelas aku didiskriminasi dan di rumah aku
semakin disudutkan, aku gak tau harus lari kemana, apa dunia sekejam ini hingga
tidak ada tempat untukku”tanpa terasa aku meneteskan air mata.
Dika mengambilkan tisu yang ada di meja dan aku
mengambilnya satu untuk mengusap air mataku. Sejenak terjadi suasana hening di
ruangan itu.
“kamu hebat Fir, pinter
dalam segi komunikasi, sedangkan aku tidak, orang tuaku juga tekadang
mempermasalahkan hal itu, padahal di dunia ini ada berbagai karakter terkadang
aku juga benci dengan penilaian yang subjektif dan menjustice seperti itu. Mungkin
kalau kita lahir secara tertukar mungkin orag tua kita bakal menemukan
kebahagiaan” Dika memberikan seulas senyum sebagai penyemangat.
“kamu tau kan Dik genetik,
genetik itu dibawa dari orang tua kepada anaknya, secara teori jika ayah mempunyai
genetik AA, ibu mempunyai genetik BB, anaknya pasti punya kemungkinan AA, AB, BA, BB. Kalau orang tuaku bilang
seperti itu pasti kesalahan buat mereka, karena anak pasti nurun dari sifat
kedua orang tuanya, kalau aku punya kepribadian AC, mungkin bisa dibilang aku
anak haram atau anak tetangga dan lain sebagainya” tanganku semakin mengepal an
dadaku semakin terasa sesak
“jangan bilang seperti
itu Fir, kita punya masalah yang sama, aku terkadang berfikir seperti itu, tapi
bagaimanapun orang tua tetap orang tua kita, kita harusnya tetap menghormati
dan tetap taat kepada orang tua kita, semoga saja kita ditakdirkan menjadi
orang sukses dan orang tua kita diberikan umur panjang untuk melihat kita dapat
sukses, kita bakal sukses dengan bidang
kita masing-masing, tidak ada anak yang sempuna di dunia ini, manusia ajah
tidak ada yang sempurna walaupun manusia adalah sebaik-baik makhluk” Dika
mencoba menenangkanku.
“amiin” aku berdoa
dalam hati dan semoga perkataan Dika dapat terwujud.
Keadaan menjadi hening, dan aku mulai kembali seperti
semula, sudah tidak ada air mata yang menetes lagi. Baik aku dan Dika sama-sama
diam tidak ada suara sedikitpun. Aku mulai mengemasi barang-barangku yang
berantakan diatas meja tamu dan bersiap untuk pulang. Kemudian aku berpamitan
kepada Dika, ibu-nya Dika dan ayahnya yang kebetulan berada di depan rumahnya. Aku
kembali dengan mengayuh kembai sepedaku.
Disisi lain setelah kepulangan Fira dari rumah Dika
ternyata Ayah Dika memanggil Dika kemudian ia memeluk Dika, Dika Nampak bingung
dengan perilaku ayahnya yang aneh dan tidak seperti biasanya.
“nak, maafkan ayah yang
terlalu menilai kamu secara subjektif,
seharusnya ayah tahu bahwa tidak ada anak yang sempurna di dunia ini,
seharusnya ayah tahu bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda, ayah
tadi mendengar percakapanmu dengan temanmu yang cukup membuat ayah menjadi
merasa bersalah kepadamu, seharusnya ayah tidak terlalu memaksamu untuk
mengikuti suatu garis karena itu tidak
manusiawi dan memberikan batas untuk kamu melakukan suatu hal dan itu mungkin
menurutmu sedikit menyiksamu, dan kamu memang laki-laki sejati yang tidak
meneteskan air mata walaupun kamu mempunyai masalah yang sama dengan temanmu
itu dan ayah tahu mungkin terdapat sesak di dadamu karena selama ini kamu juga
mengalami hal itu, ayah minta maaf ya” ayah Dika memeluk Dika dengan erat dan
seulas senyum muncul dari wajah Dika
“tanpa aku harus
berfikir tetang kematianku untuk menyadarkan arti aku untuk orang tuaku,
ternyata sebelum itu orang tuaku telah menyadarinya. Terima kasih tuhan” Dika
mengatakan dalam hati dan terlihat kebahagiaan di raut wajahnya
-End-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar