Minggu, 12 April 2015

cerpen

Don't Ever Leave Me
Judul:  Don't ever leave me
Genre: Romance
Author: Safira Fausta Ramadhnai

          Pagi ini masih sama dengan pagi-pagi biasanya. Aku berangkat sekolah sangat pagi karena aku selalu menghindari guru tatib karena memang seragamnku acak-acakan, sepatuku menyalahi aturan, dan lain sebagainya. selain untuk menghindari guru tatib, aku juga ingin melihat Rian yang setiap hari datang pagi sekali. Ntah mengapa aku selalu ingin melihatnya. Dengan suara sepatu khas yang memecah keheningan pagi, dengan muka datar ia memasuki kelas dan duduk di bangkunya yang terpaut 3 bangku di depanku. Aku selalu mengagumi sosok laki-laki yang misterius dan cuek. Bahkan walaupun berkali-kali dicuekin orang yang aku sukai tetapi tetap saja aku selalu tegar berdiri untuk menunggunya hingga ia membukakan hati.
          Tidak lama kemudian Danis teman sebangku Rian datang, aku hanya membuang muka kepada Danis. Aku sangat benci Danis, bahkan aku sering bertengkar dengan Danis, aku sampai memanggil Danis dengan sebutan “Gorila”. Memang badannya kecil dan cukup ideal untuk laki-laki, tetapi di seluruh tubuhnya dipenuhi bulu-bulu yang panjang seperti gorilla. Bagaimana mungkin cowok setampan Rian bisa mempunyai teman seperti gorilla. “hay monyet” Danis memanggilku dengan sebutan biasanya.aku hanya membuang muka seperti biasanya. Ketika Danis mulai berjalan menjauhiku, aku langsung memegang bajunya dari belakang dan memukulinya tanpa ampun. “hay Gorila, jangan sombong banget kamu, dasar Gorila…” aku mengatakannya dengan memukulinya.
          Seakarang jam biologi, Bu Nila membentuk kelompok, kebetulan aku satu kelompok dengan Gorila dan Rian. Aku senang sekali satu kelompok dengan Rian, tapi aku sangat muak sekali karena satu kelompok dengan Gorila. “wah..wah kita satu kelompok ya Nyet” Danis mengatakan dengan nada mengejek. “apa? Kita? Sejak kapan kamu dan aku jadi kita?” aku membuang muka dengan ekspresi sebal. “sudahlah kalian jangan ribut, sekarang mending kita menyelesaikan tugas biologi. Gimana kalau kita mengerjakan Biologi di rumahku?” Rian menawarkan diri. Tanpa disuruh aku dan Danis mengangguk setuju.
          Hari itu aku mengayuh sepeda kesayanganku untuk pergi ke rumah Rian. Ternyata rumah Rian lebih besar dari yang aku bayangkan. Aku masuk perlahan kedalam rumah Rian, aku melihat Danis yang sedang duduk disamping Rian. Walaupun Rian memang cuek tetapi dia sangat ramah dan sopan, wajar kalau aku bisa sampai jatuh cinta kepada Rian. Rian telah menyiapkan teh dan sedikit camilan di atas meja. Aku langsung mengambil kue diatas meja dan memakannya. “dasar cewek gak punya sopan santun, belum ditawarin udah nggambil duluan”celetuk Danis. Aku langsung berhenti memakan kue itu, aku merasa malu karena kurang menjaga sikapku di depan Rian, Rian hanya menanggapi dengan muka datarnya itu. Diskusi tidak berjalan lancar, yang lebih banyak menggerjakan adalah Rian, karena aku dan Danis dari tadi hanya bertengkar dan ribut saja. Rian terlihat sangat terganggu dengan ulahku dan Danis. “hey kalian, cuma ribut saja, mending kalian pulang saja” Rian membentak kepadaku dan Danis. Keadaan menjadi hening dan ahirnya aku memilih pulang.
          Aku pulang bersama Danis, karena memang jalan menuju rumah kami sama. “hey Monyet, kenapa kamu diam ajah, biasanya cerewet, nggomel-nggomel gak jelas” celetuk Danis dengan muka binggung. “bodoh, ini semua gara-gara kamu bodoh1 andaikan kamu gak bikin ulah tadi, kita gak bakalan diusir” aku mengatakan dengan nada kesal. “sejak kapan kamu segitu sensitifnya dengan sesuatu kayak gitu, kamu yang tiap hari ribut dengan aku juga gak punya rasa bersalah sama sekali, kenapa kamu bisa punya rasa bersalah ke Rian?” Danis makin terlihat binggung dengan perubahan sifatku kepada Rian. “bodoh!” aku menggatakannya dengan sangat pelan, hingga aku menyadari hanya aku saja yang mendengarnya. Untuk menghindari perkelahian dengan Danis, aku langsung mempercepat langkahku untuk pulang dan mengayuh sepedaku secepat mungkin untuk pulang.
          Danis masih binggung dengan perubahan sikapku kepada Rian, kenapa aku jadi berubah sikap menjadi lemah lembut jika berhadapan dengan Rian. “sebenarnya apa yang terjadi pada Rias hingga ia berubah secara drastis seperti itu jika berhadapan dengan Rian. Apa mungkin dia menyukai Rian?” Danis menggatakannya dalam hati.
          Seperti biasa aku datang sangat pagi sekali. Tiba-tiba Rian datang dan tiba-tiba langkahnya menuju kepadaku. Detak jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tepat di depanku, ternyata Rian ingin mengajak bicara dengan Reina teman sebangkuku, Rian ingin minta diajari matematika bab trigonometri. Jantungku terasa berhenti berdetak, mataku membulat karena rasanya memang tak sanggup melihatnya, tapi mau gimana lagi, Reina adalah teman terbaikku. Danis yang melihat perubahan sikapku yang aneh semakin binggung dengan aku. Aku langsung keluar dari ruang kelas, tiba-tiba Danis mengikutiku dari belakang tanpa aku sadari. Tiba-tiba aku menoleh dan melihat kearah Danis “nggapain kamu disini?” aku langsung sontak mengatakannya dengan suara dingin menusuk. “aku hanya mau ke kelas XI-B” Danis menjawab dengan nada seenaknya seolah-olah mencari alasan yang tepat.
          Rian hari itu mengajak Reina untuk belajar bersama di depan perpustakaan, aku melihatnya dengan dada rasanya tercabik-cabik. Bagaimana mungkin aku dan sahabatku sendiri suka pada orang yang sama. Danis diam-diam sedang mengintip melihatku yang sedang murung melihat Rian dan Reina. Danis tidak bisa melihat pemandangan seperti itu, Danis mendekat padaku dan menarik lenganku dan berjalan menuju kursi di depan kelas. “hey, nggapain kamu narik-narik tanganku dan duduk disini dengan kamu, hii najis banget tau!” aku memberikan nada kasar dan memijat-mijat tanganku karena sakit setelah diseret Danis. “kamu suka kan dengan Rian?” Danis mengatakan dengan nada tegas. Mataku membulat, nafasku berubah menjadi sesak saat mendengar pertanyaan itu, sedikit air mata membuat mataku berkaca-kaca. “tidak” jawabku singkat dan berlari menjauhi Danis.
          Terlihat dari mata Rias jika dia menyukai Rian, kenapa dia tidak berterus terang. Tiba-tiba sedikit rasa sesak menyelimuti hati Danis. “Nyet, aku hanya takut kamu patah hati” Danis mengatakan itu dalam-dalam dengan nada sangat pelan sekali. Danis hanya menatapi langit-langit kamarnya dengan merenung semoga tidak terjadi apa-apa kepadaku. Aku juga menatap langit-langit kamarku dan mesih segar diingataknku saat mendengar pertanyaan dari Danis. Aku sudah membohongi Danis dan perasaanku sendiri. Tiba-tiba air mataku mengalir membasahi pipiku. Perasaan bersalah kepada Danis dan Reina muncul.
          Seminggu kemudian ada kabar yang mengatakan bahwa Rian sudah resmi menjadi pacar Reina. Dadaku semakin sesak, aku berlari menjauhi semua orang, hingga sampailah aku pada suatu tempat yang sepi. Danis diam-diam mengikutiku. Saat itu hujan lebat, Danis sangat menghawatirkan keadaanku, aku duduk dengan air mata bercampur air hujan membasahi wajah dan seluruh tubuhku. Danis langsung berlari dan mendekapku, tanpa banya bicara Danis langsung menyeretku untuk duduk di atas sepeda motornya. Danis mengemudikan sepeda motor dengan kecepatan tinggi, aku tidak tahu kemanakah aku akan dibawa Danis, fikiranku sudah sangat kacau hingga aku tidak perduli dengan keadaanku sendiri. Sepeda motor Danis berhenti di sebuah tempat dekat dengan warung kopi. Danis membawakan the kepadaku, aku hanya duduk di atas sepeda motor milik Danis dan tetap terdiam. Aku meminum the itu, aku merasakan kehangatan mulai menjalar ke tubuhku, aku membalas dengan senyuman kepada Danis sebagai tanda terima kasih kepada Danis.
          “hay Monyet, kenapa kamu malah hujan-hujanan, bikin susah orang ajah” Danis menyentak kearahku. “memangnya siapa yang suruh menolongku, aku nggak minta, malah lebih baik kalau tadi kamu nggak ada” aku menjawab pertanyaan Danis dengan tatapan tajam. Tanpa diberitahu mungkin Danis sudah tahu kalau aku suka dengan Rian dan cemburu kepada Reina. Lalu kenapa timbul pertanyaan ada apa Danis pergi untuk menolongku, padahal aku tidak pernah meminta bantuan apapun darinya.
          Keesokan harinya aku mendengar kabar bahwa Danis sedang sakit, mungkin karena ia kehujanan kemarin. Aku merasa senang saat mendengar berita itu, setidaknya hari ini tidak ada pengganggu, hidupku akan tenang dan damai seharian. Setelah seminggu kemudian Danis masih belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, sepertinya penyakitnya cukup parah. Aku coba menghubunginya tetapi tidak ada respon apapun. Aku akui bahwa aku merindukan Danis, aku sangat merindukan saat-saat aku bertengkar dengannya seperti anak TK yang sedang berebut pensil warna.
          Perasaanku mulai gelisah karena aku tak kunjung melihat Danis masuk sekolah setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menjenguk Danis ke rumah sakit hari ini. Aku membawakan sekotak kue bolu coklat buatan ibuku untuk menjenguk Danis. Aku menyusuri setiap lorong di rumah sakit, hingga ahirnya aku menemukan Danis di ruangannya. Danis kaget melihatku datang dari balik pintu, seolah-olah seperti sebuah mimpi. Danis mencubit angannya sendiri, ia merasakan sakit, berarti benar, apa yang di depannya bukanlah sebuah mimpi. Ibu Danis memasuki ruangan Danis dan membawakan bubur untuk Danis. “Danis tidak pernah mau makan selama sakit, lihatlah, tubuhnya mulai terlihat kurus” Ibunya Danis menyampakan kepadaku dan dilihat oleh Danis sendiri. Aku langsung meminta untuk membawa mangkuk itu, Danis terlihat kaget, dia takut dengan apa yang akan aku lakukan dengan mengku itu.
          “hay Gorila, cepat makan bubur ini, atau bubur ini akan aku tumpahkan persis di wajahmu” aku memerintah dengan menyodorkan semangkuk bubur kepada Danis. “aku mau makan kalau kamu yang menyuapi” Danis menyampaikan dengan senyum-senyum sendiri. “dasar Gorila manja, pantas saja kamu disebut gorilla yang hanya mempunyai kapasitas otak 400cc mungkin bisa jadi dibawah itu” aku mendengus pelan. Danis hanya tersenyum masam mendengar kata-kataku. Aku mulai terkekeh pelan melihat ekspresi Danis. Tidak lama kemudian perawat datang untuk mengganti infus milik Danis dan mengambil sampel darah milik Danis. “hey Gorila, emang kamu sakit apa kok sampai diambil sampel darahmu juga?” aku mulai terlihat binggung ketika Danis diambil sampel darahnya. “sejak kapan kamu suka nggurusi hidupku, aku nggakpapa, habis ini pasti sembuh” Danis tersenyum ke arahku. Aku hanya tertunduk melihatnya, aku mengambil bantal di samping tempat tidur Danis, aku memukulkan bantal itu berkali-kali kepada Danis “Seraaaannnggg…….”aku mengobarkan semangat perang bantal dan Danis memukul-mukul bantal itu. Aku sangat merindukan suasana berperang dengan Danis, Danis dan aku tertawa lebar ketika perang bantal. Danis merasakan denyut jantungnya yang berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya. Ketika di tengah-tengah tertawa lebar tiba-tiba wajah Danis mulai terlihat murung. Danis tahu bahwa tawanya tidak lagi dapat bertahan lama.
          Danis divonis mengidap penyakit kanker darah yang setiap kali membelah semakin banyak menghasilkan sel kanker, Danis sudah banyak melakukan kemoterapi, tetapi tetap saja tidak bisa menyembuhkannya secara total. Setiap hari aku selalu datang untuk menjenguk Danis, keadaan Danis setiap hari terlihat semakin parah, namun Danis selalu menutup-nutupinya. Pada hari itu aku datang ketika Danis sedang tidur, aku melihat buku yang berada di bawah bantal milik Danis, aku langsung mengambil buku itu. Aku membuka tiap lembar demi lembar buku itu. Mataku langsung kaget membaca sebuah tulisan “akankah Rias bisa berhenti mencintai Rian, jika memang tidak bisa, bolehkan aku mendapat kesempatan untuk masuk kedalam hati Rias. Aku tahu umurku sudah tidak lama lagi, akankah Rias dapat menyadari bahwa aku selalu mencintainya” tetes demi tetes air mata mulai berjatuhan membasahi pipiku, aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuh Danis, yang aku tahu hanya Danis mencintaiku. Aku berlari menuju ruang dokter. Aku menanyakan apa yang sedang dialami oleh Danis, “ Danis sedang mengidap penyakit kanker darah stadium 4 yang hidupnya tidak lama lagi” ucap dokter dengan tertunduk. Aku hanya menangis mendengar kata-kata itu.
          Aku pergi untuk menjenguk Danis, aku tidak melihat Danis dalam ruangnnya, aku mencoba menanyakan kepada perawat, ternyata Danis sudah dipindah ke ruang ICU, aku berlari menuju ruang ICU dan menemukan Danis sedang mendapatkan perawatan dari doktek dan perawat, aku dilarang masuk ruangan. Setelah aku menunggu lama ahirnya aku masuk ke dalam uangan itu dan menemui Danis, air mataku berlinang sangat deras bahkan aku tak sanggup menghentikannya. “hay Monyet, kenapa kamu nangis, kamu khawatir ya sama aku? Hayoo nggaku, kamu sukakan sama kau?” Danis mengatakan dengan wajah tersenyum dan terkekeh-kekeh melihatku. “kalau aku suka kamu memangnya kenapa?” aku mengatakan dengan air mata tetap berjatuhan. Danis langsung diam dan ia memegang pipiku dan menghapus air mataku. “dasar Monyet cenggeng yang selalu nangis ketika jatuh cinta kepada seseorang, kamu lemah” Danis menggatakannya dengan membelai kepalaku. Aku hanya tetap meangis dan menangis, Danis tersenyum dan ia mulai senang karena apa yang ia inginkan sudah terpenuhi. “hey, mana kue bolu coklatku, katanya kamu janji membawakannya?” Danis menanyakan dengan senyum yang mengembang menghiasi wajahnya dan aku mengeluarkan sekotak kue dan aku taruh di samping Danis.
          Keadaan Danis semakin parah, kedua orang tua Danis memanggilku untu datang, namun aku terlambat, ternyata Danis sudah tidak bernyawa. Tangisan pecah dimana-mana, bahkan aku sendiri juga menangisi Danis tanpa henti, aku memegang tangan  Danis yang semakin dingin.
          Pemakaman Danis berjalan dengan lancar, aku melihat Rian di dekat makam Danis, mungkin Rian juga terpukul dengan kematian Danis. Tiba-tiba handphoneku bergetar ada SMS masuk dari Rian untuk menemuinya di sebuah rumah makan. Aku bersiap-siap untuk menemuinya dengan langkah lemas setelah mendengar kematian Danis. Aku melihat Rian sedang duduk di salah satu kursi, aku mendekatinya dan duduk di hadapannya. Tiba-tiba Rian mengulurkan sebuah surat kepadaku. “Hay Monyet, gimana kabarmu, pasti kamu sedang sedih ya, aku sudah tenang di surge kok, kamu jangan menangisi aku, aku tahu kalau kamu sudah membuka buku diaryku, aku tahu kalau kamu sudah mengetahui bahwa aku mencintaimu. Aku minta tolong, tolong sisakan ruang untukku di dalam hatimu, kamu jangan terlalu larut dengan kesedihan, dan hidup bahagialah dengan seseorang yang ada di depanmu”. Air mataku tak berhenti menangis, Rian memegang tanganku dan mencoba menenangkanku. “kamu bodoh Danis, kenapa kamu meninggalkan aku” aku berkata dalam hatiku dengan air mata mengalir semakin deras. “aku tahu, aku pernah menyia-nyiakan kamu dulu, saat ini mari kita buka lembaran baru” Rian mengucapkannya dengan menatapku tajam dan sedikit senyum mengembang di wajahnya.


          

Sabtu, 04 April 2015

coretan

Rahasia Karakter Cerpenku

          Hay guy’s, kalian yang sering baca cerpenku, ntah itu di majalah dinding, blog, majalah, dan lain sebagainya pasti aku sering memakai nama Fian, Rian, dan Bella. Aku punya alasan tersendiri mengapa aku menggunakan nama-nama itu. Aku punya pandangan tersendiri dengan nama-nama itu. Untuk tokoh yang lain, aku mengambilnya secara acak dan tidak begitu berpengaruh menurutku.
1.     Fian
Aku menggunakan nama karakter Fian mulai awal-awal aku belajar membuat cerpen. Nama Fian aku ambil dari nama adik sepupuku yang kini berumur 5 tahun. Tetapi ada juga memang temenku yang punya nama Fian kayak Aliffiandika. Dika emang juga sering menggunakan nama Fian, gak tau kenapa, hehe. Memang kadang aku menggunakan nama Fian itu merujuk ke Dika, tapi hanya sebagian kecil, kayak misalnya kisah-kisah nostalgiaku, wkwk.  Menurutku Fian itu adik yang hebat, dia punya rasa tanggung jawab yang tinggi kepada adiknya, ibunya, dan lain sebagainya. Fian biasanya mengarahkan adiknya yang sebenarnya umurnya beda 2 tahun, tapi kalau dilihat dari segi tanggung jawab memang lebih bertanggung jawab Fian daripada aniknya yang bernama Fino. Fian termasuk anak yang suka membantu, dia juga sering mengingatkan aku tentang kewajibanku kayak sholat dan lain sebagainya. Apapun yang dilakukan Fian pasti punya alasan tersendiri untuk dia. Walaupun sikapnya selalu baik kepada semua orang, tetapi tidak merubah sikapku yang dingin, tapi setidaknya aku nggak bisa terlalu dingin dengan keluguan adik sepupuku ini.
2.     Rian
Aku mengambil nama Rian baru-baru ini saja, maklum kalau hanya sedikit yang tau. Rian itu sebenernya nama temanku yang kerap kali dapat siksaan dan bullying dari aku. Gak tau kenapa aku suka banget nyiksa tuh manusia. Rian itu aku ambil dari nama Raymon Abdul Aziz Ash- Siddiq Wijaya Rusandi, nama murid terpenjang dari prodi MIA kelas XI. Temen-temen banyak yang manggil dia Emon, tapi dia kadang nyebut dia sendiri jadi Rian. Alasan mereka memanggil Emon mungkin karena dia punya wajah-wajah cabul kayak Emon yang ditelevisi yang mengidap pedifillia. Tapi sebenarnya dia nggak seperti itu, dia punya sifat yang lembut tetapi juga cerdas. Cerdas kalau lagi nggegame :v . Raymon tergolong manusia yang lemot dalam berfikir, tapi saran-sarannya ketika ada rapat atau suatu permasalahan selalu tepat, dia juga rela dihina-hina oleh guru killer daripada dia dimarahi guru killer. Yang beda banget dengan aku yang suka mematahkan argumen guruku, jadi jarang ada guru yang marah dengan aku, bahkan tidak ada sama sekali, karena mereka harus punya argumen yang kuat banget untuk menjustice aku. Meskipun aku sering nyiksa Emon, tapi gak sekalipun dia marah atau protes, dia mempunya sisi lembut sekali dan cerdas, makanya dia sangat cocok berada di cerpenku yang berjudul “The Virtual Would”.
3.     Bella
Bella adalah nama dari Almarhumah kakak kelasku. Ketika awal-awal kepergiannya, semua orang sangat sedih, bahkan satu sekolah sangat sedih hingga mengibarkan bendera setengah tiang. Aku sering memanggilnya “Mbak Bella”. Mbak Bella mengajarkan aku banyak, dia yang memperkenalkan aku dengan jurnalis, dia kakak kelas pertama yang aku kenal ketika aku masuk SMA. Aku sangat sedih mendengar berita kecelakaan yang menimpa Almarhumah Mbak Bella. Seluruh sekolah booming ketika melihat aku yang katanya mirip Mbak Bella, hingga banyak guru-guru yang memanggilku Bella karena memang agak kesulitan menghafal nama Safira, karena banyak sekali nama Safira di sekolah. Mbak Bella yang aku kenal, dia manis, pantang menyerah, kuat dalam segala hal, walaupun banyak yang membencinya, dia akan selalu maju dan maju. Itulah mengapa aku termotifasi dengan Mbak Bella, andaikan aku tidak pernah bertemu Mbak Bella, maka sampai sekarang aku nggak mungkin berada di jurnalistik, aku nggak mungkin bisa kuat. Sampai kapanpun nama Bella akan selalu hidup dalam setiap memori orang-orang yang pernah dekat dengannya. Walaupun terkadang aku menangis karena ingat kata-kata dari ibu Almarhumah untuk selalu menjaga diriku karena memang wajahku mirip dengan putri kesayangannya. Setelah itu ibu dari Almarhumah memelukku dan mencium pipiku. Aku sangat memaklumi jika hal itu terjadi,
          Hal-hal di atas hanya sekedar share tentang pandanganku menggunakan sebuah karakter dalam cerpen. Mereka semua akan tetap hidup dalam memoriku sampai kapanpun, bukan hanya di dunia nyata, namun juga di dunia imajinasiku


Kamis, 02 April 2015

Cinta Yang Sempurna Dibalik Sinar Lampion

Cinta Yang Sempurna Dibalik Sinar Lampion


          Di bawah terpaan sinar rembulan yang terang, dihiasi kemilau lampion dimana-mana. Dia tersenyum dibawah rembulan itu, dia berjalan di iringi cahaya-cahaya lampu, di bawah sinar rembulan diiringi bintang yang mengikutinya kemanapun. Percayalah, aku akan tetap disampingmu selamanya, di dalam hatiku tidak ada yang lain, hanyalah kamu.
          Dering jam alarm berbunyi. Aku terbangun untuk cepat-cepat pergi ke sekolah. Hari ini sekolah mengadakan manasik haji. Kegiatan manasik haji harus menginap di sekolah karena acara malamnya ada pesta lampion keliling Turen untuk mengumandangkan takbir. Aku sudah mempersiapkan lampion, susah sekali membuat lampion, berhari-hari aku membuat lampion, tapi selalu gagal. Dan hari ini aku benar-benar berhasil membuat lampion berwarna merah. Di dalamnya ada lampu dengan watt yang kecil dan bentuknya juga kecil, tapi sanarnya cukup terang. Aku membuatnya sampai tanganku kepanasan karena terkena ujungnya solder untuk menghubungkan arus listriknya dengan stopkontaknya.
          Semua persiapan aku lakukan secara mendadak. Maklum, hidupku memang acak-acakan dan gak pernah teratur. Pagi-pagi aku disibukkan mencari mukenah untuk persiapan manasik haji. Tapi mukenahku ternyata semua dicuci karena semuanya kotor. Tiap mukenahnya kotor, aku selalu menyimpannya di lemari dan mengambil yang bersih, saat semua kotor, aku kehabisan mukenah dan biasanya aku menggunakan milik ibuku walaupun ukurannya kebesaran buat aku. Ahirnya tidak ada jalan lain selain menggunakan mukenah milik ibuku.
          Pagi-pagi aku berlari kerumah Nana, mau ikut bareng ke sekolah dengan membawa peralatan yang banyak sekali karena memang banyak banget yang harus dibawa, bahkan ayah sama ibuku menyuruh aku membawa koper. Maklum, aku anak yang manja dan tetap dimanja walaupun sudah MTs.  Hari ini aku nggak diantar ayah karena ayah harus berangkat pagi karena ada rapat penting di sebuah hotel di Malang dan ibuku tidak bisa mengendarai sepeda motor, ahirnya aku terpaksa bareng sama temanku. Aku sangat takut digonceng samping, tapi mau gimana lagi, aku pakai rok panjang.
          Pagi-pagi di sekolah sudah ribut karena sudah banyak anak yang berkumpul untuk mencari ruangan masing-masing. Runag tidur laki-laki sama perempua dipisah. Aku sama Nana satu ruang yaitu di ruang 3 di kelas 7A. ruangannya paling nyaman sendiri karena tanpa menggelar tikar udah ada karpetnya. Kelas unggulan dengan kelas super istimewa, aku sangat ingin masuk kelas itu, tapi aku nggak pernah bisa menjadi bagian dari kelas unggulan. Aku selalu ingin masuk kelas yang dibangga-banggakan oleh para guru di sekolah, berbeda dengan kelasku yang sekarang yang suka beda-bedakan guru-guru. Padahal semuanya sama, tapi kenapa kelasku dapat diskriminasi, setiap hari kata-kata itu selalu muncul dalam hatiku. “Na, kelasnya bagus ya, gak kayak kelas kita yang kumuh” aku mengatakan secara terang-terangan kepada Nana. “udah lah Fir, meskipun kelas kita kumuh tapi kan teman-teman kita kompak itu udah cukup buat kita bahagia kan?” Nana mecoba membujukku, takut ambisiku benar-benar terbakar. Aku hanya tersenyum menganggung kepada Nana.
          “pengumuman, semua anak harap keluar dari ruang kelas dan berkumpul di halaman dengan membawa baju untuk manasik haji” Pak Saifudin memberikan pengumuman kepada semua anak kelas 7. Semua anak berbaris dan berkumpul menurut kelasnya. Semua anak langsung berbaris dua-dua untuk menuju lapangan sepak bola. Di lapangan sepak bola sudah disiapkan gambaran Bukit Marwa, dan lain sebagainya. aku mebgikuti teman-teman yang muter-muter di lapangan dengan mengucap doa-doa. Melakukan sa’i dan lain sebagainnya. Hingga yang paling aku tunggu-tunggu adalah berputar mengelilingi ka’bah, tetapi sebelum mengelilingi ka’bah semuanya diajak untuk melempar batu, semua teman-teman paling senang ketika disuruh melempar batu. Semuanya disuruh mengambil 7 batu, sedangkan aku mengambil lebih dari sepuluh batu kerikil dan aku lemparkan berkali-kali sampai terkena temanku. “Na, aku berhasil melempar kerikil di kepalanya Vino” aku mengucapkannya dengan sangat bangga. Selama ini aku sangat benci banget sama ketua kelas yang sombong sekali dan suka memerintah aku. Mentang-mentang aku wakil ketua kelas harus mengikuti semua yang dia suruh. Nana hanya tersenyum manis kepadaku dan ahirnya Vino juga membalas melempar, namun tidak ada satupun yang kena.
          Saat memutari ka’bah aku terjatuh karena mukenahku tersangkut besi dan mukenahku kotor semua. Aku hampir menangis karena aku takut karena mukenahnya kotor jadi alasan buat tidak sholat. Waktu itu aku murid baru, jadi datang kepadaku “lho, Safira kenapa? Mukenahnya kok kotor semua, kan jadi gak bisa buat sholat” Bu Ilmi bertanya kepadaku dengan nada halus seperti biasanya. “saya habis jatuh bu, mungkin nanti saya akan bergantian sholat dengan teman saya yang mukenahnya masih bersih, saya tidak apa-apa kok Bu” aku menjawab dengan memberikan senyuman terbaik untuk Bu Ilmi. “ya udah, hati ya kalau gitu” Bu ilmi juga membalas senyum. Dan aku membalas dengan anggukan dan tetap senyum.
          Aku menggandeng tangan Nana untuk masuk ke kelas dan tidur-tiduran di   sana. “Na, capek banget nih habis manasik haji habis ini masih sholat dhuhur, kamu sholat a?” aku bertanya kepada Nana dengan posisi tidur. “aku halangan Fir”. Aku yang tau Nana sedang halangan ahirnya juga memutuskan buat ikut gak sholat dhuhur juga dengan alasan halangan, Nana sempat marah-marah kepadaku dan menyuruh aku sholat dengan meminjamkan mukenahnya kepadaku, tapi aku malas karena tidak ada temannya untuk sholat bersama.
          Saat semua selesai sholat dan dari tadi aku hanya menggosip dengan teman-temanku, saat-saat ditunggu-tunggu telah tiba. Ahirnya aku dapat jatah makan dan minum dari sekolah. Aku paling senang sekali karena aku sangat kelaparan setelah beraktivitas. Ketika aku membuka nasi bungkusan ternyata isinya sayur-sayuran dan ayam goreng. Aku paling tidak suka dengan sayur-sayuran mulai kecil dan makanan yang pedas. Aku ahirnya hanya memakan nasi dan ayamnya. Sayurnya aku buang seperti biasanya. Temen-temenku meledekku karena tidak suka sayur dan Nana tetap saja membelaku seperti biasanya. “udahlah, Fira kan memang dari kecil nggak suka sayur, jangan memaksa Fira buat makan sayur-sayuran daripada dia nanti muntah-muntah” Nana membentak teman-temanku yang meledekku dari tadi. Seketika kelas langsung menjadi hening.
          Semua anak berebut kamar mandi untuk mandi, bahkan sampai ada yang pulang kerumahnya untuk mandi. “eh Na, temen-temen allay banget deh masa gak betah sih gak mandi setengah hari ajah” aku menatap Nana dengan bibir manyun. “emangnya kamu Fir, kamu kan udah biasa gak mandi” Nana tertawa terkekeh-kekeh dengan teman-teman yang lain. “loe jangan buka aib gue disini deh” aku berbisik dengan muka yang ditekuk-tekuk. Pada ahirnya, aku, Nana, Wiwin, dan Meme tidak mandi karena males mengantri. Teman-teman di kelas pada lepas jilbab, beda dengan aku dan teman-teman yang tetap menggunakan jilbab.
          Waktu magrib berkumandang semuanya sedang menuju mushola, termasuk aku. Aku mau sholat karena ada Wiwin yang ikut sholat dengan aku. Semua anak sholat berjama’ah termasuk aku. Hingga semua selesai sholat, semua anak berkumpul di halaman sekolah untuk persiapan pesta lampion, semua anak unjuk diri dengan lampionnya. Banyak sekali lampion yang unik, ada yang dari bola plastik kemudian dilubangi dan diberi lampu warna warni, ada juga yang membuat bentuk aneh-aneh pita-pita untuk memberikan kesan imut peda lampion. Lampion milikku juga gak kalah hebat dengan lampion milik temen-temenku yang aku desain dengan sinar warna merah dan biru yang menyala secara bergantian dan tutup yang terbuat dari tempat nasi berbentuk bunga yang aku satukan dengan sedikit hiasan untuk memberikan kesan lebih menarik.
          Semua anak berbaris dan berjalan satu persatu untuk keluar dari gerbang, aku sempat melihat anak laki-laki dengan wajah yang sangat menarik, kemudia dia membawa lampion yang sangat sederhana. Dia berdiri menyendiri dibalik pohon di depan  ruang guru. Ahirnya aku tidak begitu meperdulikannya karena semua harus berisap dalam bentuk barisan, tiba-tiba laki-laki itu juga ikut berbaris di depan. Semua berkumandang mengucapkan takbir dimana-mana dengan menyalakan lampion, aku yang di samping Nana tersenyum melihat Nana secara diam-diam dan menggenggam tangannya begitu erat. Aku sangat menyayangi Nana, kami teman mulai SD, dia selalu menjagaku dan aku juga selalu menjaganya. Bahkan aku selalu ada bersamanya, seperti gula dan semut, dimana ada gula, disitu ada semut. Dimana ada Nana, disitu ada aku. Nana sangat manis, apalagi di bawah sinar rembulan dan ditemani dengan kemilau lampu lampion di bawah bintang-bintang. Aku merasakan sangat beruntung mempunyai Nana, walaupun dia selalu cuek  dengan aku, tapi sebenarnya dialah yang paling perhatian denganku. Aku sering mengejeknya, namun dia tetap saja diam.
          “Na, sampai kapanpun aku selalu bersamamu, aku sangat sayang denganmu” aku mengucapkan kata-lata itu dengan sangat pelan, hingga aku menyadari hanya aku saja yang akan mendengar kata-kata itu. Tiba-tiba aku bertemu ayah dan ibuku saat lewan di depan rumahku. Ayah dan ibuku memberikan aku makanan dan minuman, aku sangat malu dilihat teman-temanku. Teman-temanku mengira aku seperti anak kecil yang masih dibekalkan dengan orang tuaku dan dimanja-manja. Ahirnya aku menolak makanan dan minuman itu. Aku beranjak menjauhi ayah dan ibuku.
          Saat semua tiba di sekolah, aku langsung tiduran diatas karpet di kelas, tapi setelah itu aku sholat isya’ dulu. Saat sholat isya’ hanya sedikit anak yang sholat karena memang kecapekan, dan aku memberanikan diri untuk sholat sendiri. Setelah sholat, semua tidur. Tetapi masih ada anak laki-laki yang iseng mengetuk-ngetuk jendela kelas lewat parkiran. Semua teman-teman yang cewek pada marah-marah dan ahirnya memanggil Pak Rofiul  dan melaporkannya. Ahirnya semua berada di dalam kelas, tidak ada yang keluar. Saat lampu dimatikan, aku saat takut. Aku tidak terbiasa tidur dalam gelap. Ahirnya aku tidak bisa tidur, bahkan Nana, Wiwin, dan Meme juga tidak bisa tidur. Ahirnya aku dan teman-teman nyoba iseng-isengan lihat teman-teman yang lagi tidur. Ekspresi mereka lucu-lucu, bahkan ada yang mendengkur, berpelukan sesame cewek, tidurnya muer-muter,  sampai yang nggelidur juga ada. Akun semalaman gak tidur dan nggemil makanan terus sampai pagi. Banyak canda tawa yang terjadi. Sampai snagking seringnya aku nggomong sampai di kasih roti biar aku diam.
          Keesokan harinya aku sholat idhul adha di sekolah dengan teman-teman. Hal yang paling aku tunggu-tunggu. Semuanya berkumpul untuk sholat, sebelum sholat idhul adha aku mandi dahulu dan mengantri agak lama, karena aku ingin benar-benar suci saat sholat. Ketika semua sedah selesai sholat aku bersiap-siap untuk pulang. Semua kenangan indah terukir saat itu. Mulai dari kesialanku yang jatuh saat manasik haji sampai gemerlap lampion yang indah yang aku habiskan dengan temanku. Semuanya menjadi suatu kenangan tak terlupakan.