Minggu, 12 April 2015

cerpen

Don't Ever Leave Me
Judul:  Don't ever leave me
Genre: Romance
Author: Safira Fausta Ramadhnai

          Pagi ini masih sama dengan pagi-pagi biasanya. Aku berangkat sekolah sangat pagi karena aku selalu menghindari guru tatib karena memang seragamnku acak-acakan, sepatuku menyalahi aturan, dan lain sebagainya. selain untuk menghindari guru tatib, aku juga ingin melihat Rian yang setiap hari datang pagi sekali. Ntah mengapa aku selalu ingin melihatnya. Dengan suara sepatu khas yang memecah keheningan pagi, dengan muka datar ia memasuki kelas dan duduk di bangkunya yang terpaut 3 bangku di depanku. Aku selalu mengagumi sosok laki-laki yang misterius dan cuek. Bahkan walaupun berkali-kali dicuekin orang yang aku sukai tetapi tetap saja aku selalu tegar berdiri untuk menunggunya hingga ia membukakan hati.
          Tidak lama kemudian Danis teman sebangku Rian datang, aku hanya membuang muka kepada Danis. Aku sangat benci Danis, bahkan aku sering bertengkar dengan Danis, aku sampai memanggil Danis dengan sebutan “Gorila”. Memang badannya kecil dan cukup ideal untuk laki-laki, tetapi di seluruh tubuhnya dipenuhi bulu-bulu yang panjang seperti gorilla. Bagaimana mungkin cowok setampan Rian bisa mempunyai teman seperti gorilla. “hay monyet” Danis memanggilku dengan sebutan biasanya.aku hanya membuang muka seperti biasanya. Ketika Danis mulai berjalan menjauhiku, aku langsung memegang bajunya dari belakang dan memukulinya tanpa ampun. “hay Gorila, jangan sombong banget kamu, dasar Gorila…” aku mengatakannya dengan memukulinya.
          Seakarang jam biologi, Bu Nila membentuk kelompok, kebetulan aku satu kelompok dengan Gorila dan Rian. Aku senang sekali satu kelompok dengan Rian, tapi aku sangat muak sekali karena satu kelompok dengan Gorila. “wah..wah kita satu kelompok ya Nyet” Danis mengatakan dengan nada mengejek. “apa? Kita? Sejak kapan kamu dan aku jadi kita?” aku membuang muka dengan ekspresi sebal. “sudahlah kalian jangan ribut, sekarang mending kita menyelesaikan tugas biologi. Gimana kalau kita mengerjakan Biologi di rumahku?” Rian menawarkan diri. Tanpa disuruh aku dan Danis mengangguk setuju.
          Hari itu aku mengayuh sepeda kesayanganku untuk pergi ke rumah Rian. Ternyata rumah Rian lebih besar dari yang aku bayangkan. Aku masuk perlahan kedalam rumah Rian, aku melihat Danis yang sedang duduk disamping Rian. Walaupun Rian memang cuek tetapi dia sangat ramah dan sopan, wajar kalau aku bisa sampai jatuh cinta kepada Rian. Rian telah menyiapkan teh dan sedikit camilan di atas meja. Aku langsung mengambil kue diatas meja dan memakannya. “dasar cewek gak punya sopan santun, belum ditawarin udah nggambil duluan”celetuk Danis. Aku langsung berhenti memakan kue itu, aku merasa malu karena kurang menjaga sikapku di depan Rian, Rian hanya menanggapi dengan muka datarnya itu. Diskusi tidak berjalan lancar, yang lebih banyak menggerjakan adalah Rian, karena aku dan Danis dari tadi hanya bertengkar dan ribut saja. Rian terlihat sangat terganggu dengan ulahku dan Danis. “hey kalian, cuma ribut saja, mending kalian pulang saja” Rian membentak kepadaku dan Danis. Keadaan menjadi hening dan ahirnya aku memilih pulang.
          Aku pulang bersama Danis, karena memang jalan menuju rumah kami sama. “hey Monyet, kenapa kamu diam ajah, biasanya cerewet, nggomel-nggomel gak jelas” celetuk Danis dengan muka binggung. “bodoh, ini semua gara-gara kamu bodoh1 andaikan kamu gak bikin ulah tadi, kita gak bakalan diusir” aku mengatakan dengan nada kesal. “sejak kapan kamu segitu sensitifnya dengan sesuatu kayak gitu, kamu yang tiap hari ribut dengan aku juga gak punya rasa bersalah sama sekali, kenapa kamu bisa punya rasa bersalah ke Rian?” Danis makin terlihat binggung dengan perubahan sifatku kepada Rian. “bodoh!” aku menggatakannya dengan sangat pelan, hingga aku menyadari hanya aku saja yang mendengarnya. Untuk menghindari perkelahian dengan Danis, aku langsung mempercepat langkahku untuk pulang dan mengayuh sepedaku secepat mungkin untuk pulang.
          Danis masih binggung dengan perubahan sikapku kepada Rian, kenapa aku jadi berubah sikap menjadi lemah lembut jika berhadapan dengan Rian. “sebenarnya apa yang terjadi pada Rias hingga ia berubah secara drastis seperti itu jika berhadapan dengan Rian. Apa mungkin dia menyukai Rian?” Danis menggatakannya dalam hati.
          Seperti biasa aku datang sangat pagi sekali. Tiba-tiba Rian datang dan tiba-tiba langkahnya menuju kepadaku. Detak jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Tepat di depanku, ternyata Rian ingin mengajak bicara dengan Reina teman sebangkuku, Rian ingin minta diajari matematika bab trigonometri. Jantungku terasa berhenti berdetak, mataku membulat karena rasanya memang tak sanggup melihatnya, tapi mau gimana lagi, Reina adalah teman terbaikku. Danis yang melihat perubahan sikapku yang aneh semakin binggung dengan aku. Aku langsung keluar dari ruang kelas, tiba-tiba Danis mengikutiku dari belakang tanpa aku sadari. Tiba-tiba aku menoleh dan melihat kearah Danis “nggapain kamu disini?” aku langsung sontak mengatakannya dengan suara dingin menusuk. “aku hanya mau ke kelas XI-B” Danis menjawab dengan nada seenaknya seolah-olah mencari alasan yang tepat.
          Rian hari itu mengajak Reina untuk belajar bersama di depan perpustakaan, aku melihatnya dengan dada rasanya tercabik-cabik. Bagaimana mungkin aku dan sahabatku sendiri suka pada orang yang sama. Danis diam-diam sedang mengintip melihatku yang sedang murung melihat Rian dan Reina. Danis tidak bisa melihat pemandangan seperti itu, Danis mendekat padaku dan menarik lenganku dan berjalan menuju kursi di depan kelas. “hey, nggapain kamu narik-narik tanganku dan duduk disini dengan kamu, hii najis banget tau!” aku memberikan nada kasar dan memijat-mijat tanganku karena sakit setelah diseret Danis. “kamu suka kan dengan Rian?” Danis mengatakan dengan nada tegas. Mataku membulat, nafasku berubah menjadi sesak saat mendengar pertanyaan itu, sedikit air mata membuat mataku berkaca-kaca. “tidak” jawabku singkat dan berlari menjauhi Danis.
          Terlihat dari mata Rias jika dia menyukai Rian, kenapa dia tidak berterus terang. Tiba-tiba sedikit rasa sesak menyelimuti hati Danis. “Nyet, aku hanya takut kamu patah hati” Danis mengatakan itu dalam-dalam dengan nada sangat pelan sekali. Danis hanya menatapi langit-langit kamarnya dengan merenung semoga tidak terjadi apa-apa kepadaku. Aku juga menatap langit-langit kamarku dan mesih segar diingataknku saat mendengar pertanyaan dari Danis. Aku sudah membohongi Danis dan perasaanku sendiri. Tiba-tiba air mataku mengalir membasahi pipiku. Perasaan bersalah kepada Danis dan Reina muncul.
          Seminggu kemudian ada kabar yang mengatakan bahwa Rian sudah resmi menjadi pacar Reina. Dadaku semakin sesak, aku berlari menjauhi semua orang, hingga sampailah aku pada suatu tempat yang sepi. Danis diam-diam mengikutiku. Saat itu hujan lebat, Danis sangat menghawatirkan keadaanku, aku duduk dengan air mata bercampur air hujan membasahi wajah dan seluruh tubuhku. Danis langsung berlari dan mendekapku, tanpa banya bicara Danis langsung menyeretku untuk duduk di atas sepeda motornya. Danis mengemudikan sepeda motor dengan kecepatan tinggi, aku tidak tahu kemanakah aku akan dibawa Danis, fikiranku sudah sangat kacau hingga aku tidak perduli dengan keadaanku sendiri. Sepeda motor Danis berhenti di sebuah tempat dekat dengan warung kopi. Danis membawakan the kepadaku, aku hanya duduk di atas sepeda motor milik Danis dan tetap terdiam. Aku meminum the itu, aku merasakan kehangatan mulai menjalar ke tubuhku, aku membalas dengan senyuman kepada Danis sebagai tanda terima kasih kepada Danis.
          “hay Monyet, kenapa kamu malah hujan-hujanan, bikin susah orang ajah” Danis menyentak kearahku. “memangnya siapa yang suruh menolongku, aku nggak minta, malah lebih baik kalau tadi kamu nggak ada” aku menjawab pertanyaan Danis dengan tatapan tajam. Tanpa diberitahu mungkin Danis sudah tahu kalau aku suka dengan Rian dan cemburu kepada Reina. Lalu kenapa timbul pertanyaan ada apa Danis pergi untuk menolongku, padahal aku tidak pernah meminta bantuan apapun darinya.
          Keesokan harinya aku mendengar kabar bahwa Danis sedang sakit, mungkin karena ia kehujanan kemarin. Aku merasa senang saat mendengar berita itu, setidaknya hari ini tidak ada pengganggu, hidupku akan tenang dan damai seharian. Setelah seminggu kemudian Danis masih belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali, sepertinya penyakitnya cukup parah. Aku coba menghubunginya tetapi tidak ada respon apapun. Aku akui bahwa aku merindukan Danis, aku sangat merindukan saat-saat aku bertengkar dengannya seperti anak TK yang sedang berebut pensil warna.
          Perasaanku mulai gelisah karena aku tak kunjung melihat Danis masuk sekolah setelah kejadian itu, aku memutuskan untuk menjenguk Danis ke rumah sakit hari ini. Aku membawakan sekotak kue bolu coklat buatan ibuku untuk menjenguk Danis. Aku menyusuri setiap lorong di rumah sakit, hingga ahirnya aku menemukan Danis di ruangannya. Danis kaget melihatku datang dari balik pintu, seolah-olah seperti sebuah mimpi. Danis mencubit angannya sendiri, ia merasakan sakit, berarti benar, apa yang di depannya bukanlah sebuah mimpi. Ibu Danis memasuki ruangan Danis dan membawakan bubur untuk Danis. “Danis tidak pernah mau makan selama sakit, lihatlah, tubuhnya mulai terlihat kurus” Ibunya Danis menyampakan kepadaku dan dilihat oleh Danis sendiri. Aku langsung meminta untuk membawa mangkuk itu, Danis terlihat kaget, dia takut dengan apa yang akan aku lakukan dengan mengku itu.
          “hay Gorila, cepat makan bubur ini, atau bubur ini akan aku tumpahkan persis di wajahmu” aku memerintah dengan menyodorkan semangkuk bubur kepada Danis. “aku mau makan kalau kamu yang menyuapi” Danis menyampaikan dengan senyum-senyum sendiri. “dasar Gorila manja, pantas saja kamu disebut gorilla yang hanya mempunyai kapasitas otak 400cc mungkin bisa jadi dibawah itu” aku mendengus pelan. Danis hanya tersenyum masam mendengar kata-kataku. Aku mulai terkekeh pelan melihat ekspresi Danis. Tidak lama kemudian perawat datang untuk mengganti infus milik Danis dan mengambil sampel darah milik Danis. “hey Gorila, emang kamu sakit apa kok sampai diambil sampel darahmu juga?” aku mulai terlihat binggung ketika Danis diambil sampel darahnya. “sejak kapan kamu suka nggurusi hidupku, aku nggakpapa, habis ini pasti sembuh” Danis tersenyum ke arahku. Aku hanya tertunduk melihatnya, aku mengambil bantal di samping tempat tidur Danis, aku memukulkan bantal itu berkali-kali kepada Danis “Seraaaannnggg…….”aku mengobarkan semangat perang bantal dan Danis memukul-mukul bantal itu. Aku sangat merindukan suasana berperang dengan Danis, Danis dan aku tertawa lebar ketika perang bantal. Danis merasakan denyut jantungnya yang berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya. Ketika di tengah-tengah tertawa lebar tiba-tiba wajah Danis mulai terlihat murung. Danis tahu bahwa tawanya tidak lagi dapat bertahan lama.
          Danis divonis mengidap penyakit kanker darah yang setiap kali membelah semakin banyak menghasilkan sel kanker, Danis sudah banyak melakukan kemoterapi, tetapi tetap saja tidak bisa menyembuhkannya secara total. Setiap hari aku selalu datang untuk menjenguk Danis, keadaan Danis setiap hari terlihat semakin parah, namun Danis selalu menutup-nutupinya. Pada hari itu aku datang ketika Danis sedang tidur, aku melihat buku yang berada di bawah bantal milik Danis, aku langsung mengambil buku itu. Aku membuka tiap lembar demi lembar buku itu. Mataku langsung kaget membaca sebuah tulisan “akankah Rias bisa berhenti mencintai Rian, jika memang tidak bisa, bolehkan aku mendapat kesempatan untuk masuk kedalam hati Rias. Aku tahu umurku sudah tidak lama lagi, akankah Rias dapat menyadari bahwa aku selalu mencintainya” tetes demi tetes air mata mulai berjatuhan membasahi pipiku, aku tidak tahu apa yang terjadi pada tubuh Danis, yang aku tahu hanya Danis mencintaiku. Aku berlari menuju ruang dokter. Aku menanyakan apa yang sedang dialami oleh Danis, “ Danis sedang mengidap penyakit kanker darah stadium 4 yang hidupnya tidak lama lagi” ucap dokter dengan tertunduk. Aku hanya menangis mendengar kata-kata itu.
          Aku pergi untuk menjenguk Danis, aku tidak melihat Danis dalam ruangnnya, aku mencoba menanyakan kepada perawat, ternyata Danis sudah dipindah ke ruang ICU, aku berlari menuju ruang ICU dan menemukan Danis sedang mendapatkan perawatan dari doktek dan perawat, aku dilarang masuk ruangan. Setelah aku menunggu lama ahirnya aku masuk ke dalam uangan itu dan menemui Danis, air mataku berlinang sangat deras bahkan aku tak sanggup menghentikannya. “hay Monyet, kenapa kamu nangis, kamu khawatir ya sama aku? Hayoo nggaku, kamu sukakan sama kau?” Danis mengatakan dengan wajah tersenyum dan terkekeh-kekeh melihatku. “kalau aku suka kamu memangnya kenapa?” aku mengatakan dengan air mata tetap berjatuhan. Danis langsung diam dan ia memegang pipiku dan menghapus air mataku. “dasar Monyet cenggeng yang selalu nangis ketika jatuh cinta kepada seseorang, kamu lemah” Danis menggatakannya dengan membelai kepalaku. Aku hanya tetap meangis dan menangis, Danis tersenyum dan ia mulai senang karena apa yang ia inginkan sudah terpenuhi. “hey, mana kue bolu coklatku, katanya kamu janji membawakannya?” Danis menanyakan dengan senyum yang mengembang menghiasi wajahnya dan aku mengeluarkan sekotak kue dan aku taruh di samping Danis.
          Keadaan Danis semakin parah, kedua orang tua Danis memanggilku untu datang, namun aku terlambat, ternyata Danis sudah tidak bernyawa. Tangisan pecah dimana-mana, bahkan aku sendiri juga menangisi Danis tanpa henti, aku memegang tangan  Danis yang semakin dingin.
          Pemakaman Danis berjalan dengan lancar, aku melihat Rian di dekat makam Danis, mungkin Rian juga terpukul dengan kematian Danis. Tiba-tiba handphoneku bergetar ada SMS masuk dari Rian untuk menemuinya di sebuah rumah makan. Aku bersiap-siap untuk menemuinya dengan langkah lemas setelah mendengar kematian Danis. Aku melihat Rian sedang duduk di salah satu kursi, aku mendekatinya dan duduk di hadapannya. Tiba-tiba Rian mengulurkan sebuah surat kepadaku. “Hay Monyet, gimana kabarmu, pasti kamu sedang sedih ya, aku sudah tenang di surge kok, kamu jangan menangisi aku, aku tahu kalau kamu sudah membuka buku diaryku, aku tahu kalau kamu sudah mengetahui bahwa aku mencintaimu. Aku minta tolong, tolong sisakan ruang untukku di dalam hatimu, kamu jangan terlalu larut dengan kesedihan, dan hidup bahagialah dengan seseorang yang ada di depanmu”. Air mataku tak berhenti menangis, Rian memegang tanganku dan mencoba menenangkanku. “kamu bodoh Danis, kenapa kamu meninggalkan aku” aku berkata dalam hatiku dengan air mata mengalir semakin deras. “aku tahu, aku pernah menyia-nyiakan kamu dulu, saat ini mari kita buka lembaran baru” Rian mengucapkannya dengan menatapku tajam dan sedikit senyum mengembang di wajahnya.


          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar